Rindu Hujan
Hujan lagi nih... diluar langit gelap, abu-abu kelam warnanya. Sesekali ada kilat yang menyambar, petir yang menggelegar dan awan yang riap-riap kelabu kejar mengejar seolah menari dibuai-buai angin. Suara-suara menggerutu di atas sana tak mau kalah. Sesuatu pasti terjadi pada gumpalan-gumpalan uap air itu, waktu kecil aku selalu saja bertanya tanya kenapa awan yang akan mencurahkan hujan selalu berwarna gelap, seperti selokan belakang rumah. Airnya kotor pikirku !. Lalu setelah angin deru menderu dan awan kotor itu terlihat seperti mendidih maka biasanya hujan akan turun dengan lebatnya. Tepat sekali ! sore ini air hujan tumpah ke bumi sepuas-puasnya.Lalu tanah akan basah, seperti juga rumput, ilalang, ranting, batu-batu, sore ini basah kuyup. Dari celah gorden yang terbuka di ujung ruang kantor, tepat di sebelah meja rekan sekerja, aku dapat mengintip keriangan penuh ekstase sore itu. Debu-debu ikhlas saja jadi gumpal-gumpal hanyut di jalanan becek. Spektrum-spektrum kenangan masa kecil seketika berlompatan keluar dari memori. Satu persatu berceloteh dan menggoda diri untuk larut kembali dalam kehangatan lampau. Betapa hujan begitu menggairahkan untuk ditunggu. Betapa awan-awan gelap senantiasa membuat dada membuncah riang menunggu tetesan pertamanya. Tidak ada rasa takut. Meski kadang jantung ini berdetak kencang oleh bentakan halilintar. Tak ada takut. Denyut-denyut dalam nadi saja yang ada. Darah mengalir dengan kejut-kejut halus. Seketika tetesan pertama itu turun, seketika itu pula segala nya bergelora. Debar, gejolak, riang, suka gulung menggulung dalam raga yang basah.
"Nikmati masa kecilmu, hujan ini selalu ada untuk menghiburmu"
Suara-suara itu merayu telinga. Aku selalu terhanyut. Dan di dalam siraman beku itu aku beroleh kehangatan.
Selesai ritual hujan-hujanan, ritual berikut tentu mandi di sumur belakang rumah. Sumur alam itu 100 meter jaraknya dari rumah. Di kiri kanan jalan setapak tanah selebar setengah meter itu bergerombol berbaris rerimbun ilalang dan pepohonan. Jalan kesana menurun. Setiap hujan jalan itu pasti tergenang air. Bentuknya tak ubah sungai kecil. Tentunya kegembiraan lain diperoleh dengan main "perosotan" di jalan yang juga jalur air hujan itu. Sumur tua berdiameter 2 meter, dalamny paling satu setengah meter. Sumur itu hampir tak pernah kering. Airnya jernih. Kita akan dapat menghitung dengan jelas jumlah ikan yang ada di dalamnya.
Setelah badan terasa bersih dan segar aku akan berkejar-kejaran saling mendahului sampai ke rumah. Hujan-hujanan selesai. Badan tlah segar. Maka apakah yang lebih nikmat dari pada teh manis dan pisang goreng hangat buatan Mama ? Teh manis dan pisang goreng, keajaiban yang diciptakan oleh kasih dan sayang Mama meleburkan kehangatan saat hujan di hari yang turun sore.
22 Juni 2005
"Nikmati masa kecilmu, hujan ini selalu ada untuk menghiburmu"
Suara-suara itu merayu telinga. Aku selalu terhanyut. Dan di dalam siraman beku itu aku beroleh kehangatan.
Selesai ritual hujan-hujanan, ritual berikut tentu mandi di sumur belakang rumah. Sumur alam itu 100 meter jaraknya dari rumah. Di kiri kanan jalan setapak tanah selebar setengah meter itu bergerombol berbaris rerimbun ilalang dan pepohonan. Jalan kesana menurun. Setiap hujan jalan itu pasti tergenang air. Bentuknya tak ubah sungai kecil. Tentunya kegembiraan lain diperoleh dengan main "perosotan" di jalan yang juga jalur air hujan itu. Sumur tua berdiameter 2 meter, dalamny paling satu setengah meter. Sumur itu hampir tak pernah kering. Airnya jernih. Kita akan dapat menghitung dengan jelas jumlah ikan yang ada di dalamnya.
Setelah badan terasa bersih dan segar aku akan berkejar-kejaran saling mendahului sampai ke rumah. Hujan-hujanan selesai. Badan tlah segar. Maka apakah yang lebih nikmat dari pada teh manis dan pisang goreng hangat buatan Mama ? Teh manis dan pisang goreng, keajaiban yang diciptakan oleh kasih dan sayang Mama meleburkan kehangatan saat hujan di hari yang turun sore.
22 Juni 2005
Comments