Ruang Kebutuhan
Hari ini adalah hari yang biasa. Hari yang dimulai dengan ritual pagi, lanjut dengan kebiasaan-kebiasaan kantor. Benar-benar hari yang hampir-hampir tidak istimewa. Ugh siapa itu ngakak di ruang sebelah. Kekehnya bikin penasaran saja, mesti lucu sekali hal yang diperbincangnya, kalo tidak pasti tak seseru itu ketawanya. Ruang sebelah, belakang meja kantor tepatnya adalah salah satu public space di kantor. Selain ruang "pengasapan" di lantai dua dan teras kantor di depan klinik dokter Susanto. Di ruang itu tak ada pendingin ruangan, hanya jendela kaca besar yang bisa dibuka tutup. Dari jendela itulah angin berdebu kerap masuk menyegarkan suasana.
Selain meja pingpong dan tumpukan kardus di sana juga tersedia kursi-kursi portable yang dilengkapi meja tulis. Serakan puntung dan abu rokok serta cangkir kopi semakin mengesahkan status ruang sebagai the most favourite room.
Di ruang itu segala tertumpah. Caci maki atasan tertumpah, sindiran sarkasme rekan kerja tertumpah, curhat selingkuh tertumpah, air mata tertumpah, keringat tertumpah, air kopi tertumpah. Ya, pelik-pelik kehidupan tumpah ruah berbaur dengan udara panas dan berat. Ruang serba guna itu jadi tempat meeting informal bagi divisi para perokok. Divisi yang dihuni mayoritas para perokok dengan senang hati memilih ruang itu dibanding ruang meeting di bawah. Lebih nyaman dan santai. (Alasan utamanya tentu menaati Perda Mr. Sutiyoso tentang rokok.... beeeehhhh... ini kan Cikarang Bung!!! bukan Jakarta... Tau deh kalo tar bisa dikawin jadi Megapolitan....hati-hati provokasi...)
Kalo tempat kerjaku negara, maka ruang itu adalah ruang (wakil) rakyat. Direktur pernah main pingpong disana, lawan office boy. Ketua lembaga pernah merayakan ulang tahun disana, makan-makan dengan menu hoka-hoka bento. Ruang itu telah jadi kamar kebutuhan layaknya di novel Harry Potter (halah....!!!).
Kami semua akan bersedih tentunya kalo ruang itu jadi tiada. Mungkin seperti selokan depan rumah yang tiba-tiba mampat. Meluap kemana-mana kan jadinya. Trus bikin kotor tempat-tempat yang mestinya ga boleh kotor. Kalo dah begitu tentunya semua jadi kacau. Semua jadi bau. Padahal kami (sumber air kotor itu) ga ingin bikin kotor dan bau. Cuma pengen keluarin apa yang mesti keluar saja. Kaya keringat yang keluar kalo badan kepanasan atau urine yang keluar kalo dah jenuh di kantong kemih. Ingin kami sederhana saja. Ada saluran pembuangan cakap-cakap kotor, keluh desah, caci carut, keringat, air mata dan tempat kentut. Sederhana saja. Kami ingin tempat itu tetap ada.
Ruang publik, kamar rakyat, meeting room, ruang pengasapan apapun namanya kami ga tolak. Biarkan saja tempat itu ada. Kami akan girang dibuatnya.
Selain meja pingpong dan tumpukan kardus di sana juga tersedia kursi-kursi portable yang dilengkapi meja tulis. Serakan puntung dan abu rokok serta cangkir kopi semakin mengesahkan status ruang sebagai the most favourite room.
Di ruang itu segala tertumpah. Caci maki atasan tertumpah, sindiran sarkasme rekan kerja tertumpah, curhat selingkuh tertumpah, air mata tertumpah, keringat tertumpah, air kopi tertumpah. Ya, pelik-pelik kehidupan tumpah ruah berbaur dengan udara panas dan berat. Ruang serba guna itu jadi tempat meeting informal bagi divisi para perokok. Divisi yang dihuni mayoritas para perokok dengan senang hati memilih ruang itu dibanding ruang meeting di bawah. Lebih nyaman dan santai. (Alasan utamanya tentu menaati Perda Mr. Sutiyoso tentang rokok.... beeeehhhh... ini kan Cikarang Bung!!! bukan Jakarta... Tau deh kalo tar bisa dikawin jadi Megapolitan....hati-hati provokasi...)
Kalo tempat kerjaku negara, maka ruang itu adalah ruang (wakil) rakyat. Direktur pernah main pingpong disana, lawan office boy. Ketua lembaga pernah merayakan ulang tahun disana, makan-makan dengan menu hoka-hoka bento. Ruang itu telah jadi kamar kebutuhan layaknya di novel Harry Potter (halah....!!!).
Kami semua akan bersedih tentunya kalo ruang itu jadi tiada. Mungkin seperti selokan depan rumah yang tiba-tiba mampat. Meluap kemana-mana kan jadinya. Trus bikin kotor tempat-tempat yang mestinya ga boleh kotor. Kalo dah begitu tentunya semua jadi kacau. Semua jadi bau. Padahal kami (sumber air kotor itu) ga ingin bikin kotor dan bau. Cuma pengen keluarin apa yang mesti keluar saja. Kaya keringat yang keluar kalo badan kepanasan atau urine yang keluar kalo dah jenuh di kantong kemih. Ingin kami sederhana saja. Ada saluran pembuangan cakap-cakap kotor, keluh desah, caci carut, keringat, air mata dan tempat kentut. Sederhana saja. Kami ingin tempat itu tetap ada.
Ruang publik, kamar rakyat, meeting room, ruang pengasapan apapun namanya kami ga tolak. Biarkan saja tempat itu ada. Kami akan girang dibuatnya.
Comments