Oke... Oke... Ini Cuma Tentang Sepak Bola
Dalam waktu kurang dari seminggu dua orang kawan "nyentil" saya. Pasal Blog. Saya ga heran, karena memang sudah sebulan lebih 2 minggu blog saya ga diapdet. Saya juga agak tergagu-gagu mengingat betapa waktu berkejaran dengan tanpa ampun. Rutinitas ternyata berpotensi membunuh. Dan kali ini yang mati adalah sensitivitas saya terhadap dimensi waktu.
Layaknya permainan sepak bola, kehidupan kita telah dibatas dalam durasi yang pasti. Saya sadar betul hal itu. Dalam 2 x 45 menit tambah injury time, plus extra time dan sesekali adu penalti, harga manusia ditentukan, demikian juga nilai tukar rupiah, tingkat konsumsi kopi dan rokok juga kekerasan dalam rumah tangga. Ah terlalu mengada-ada. Ya terlalu mengada-ada. Tapi tidak juga, saya tidak berusaha mengada-ada. Kalo anda rajin nonton pertandingan sepak bola, mungkin terekam dalam ingatan anda betapa seorang Escobar (nama depannya saya lupa, yang jelas dia pemain Columbia yang melakukan gol bunuh diri di Piala dunia) mati beberapa jam setelah dalam 2 x 45 menit keberuntungan sedang tidak bersahabat dengannya.
Anda kenal Boaz Solossa??? Gara-gara dalam 2 x 45 menitnya ia memerankan peran sebagai petinju alih-alih pemain bola, mutiara hitam muda ini mesti urung membela merah putih di Sea Games tahun ini.
Dalam hidup ini, setidaknya hidup saya. Momen-momen 2 x 45 menit tambah injury time, plus extra time dan sesekali adu penalti ini kerap terjadi. Baik di lapangan sepak bola yang sebenarnya (saya rutin main bola di Lebak bulus tiap Jumat malam) maupun dalam rutinitas keseharian. Di Lebak Bulus saya selalu dihadapkan pada pilihan menggiring, passing, sundul, tembak bahkan takling dari belakang. Tak jauh beda, di kantor beberapa pekerjaan saya kerjaan sendiri, beberapa saya serahkan pada kawan, beberapa saya tunda, beberapa tak mau saya kerjakan. Ya, tak mau saya kerjakan, sebagaimana saya gak mau nyundul bola yang jaraknya 5 sentimeter dari tanah. Kenapa? Ya kalo saya kerjakan saya bisa cilaka, boro-boro cetak gol atau mengamankan gawang, yang ada pletak, gedebuk, bret.
Tak jarang saya tersentak menyadari betapa fragmen-fragmen hidup kita mampu dicerminkan oleh adegan-adegan di lapangan sepak bola. Dalam adegan gol tangan tuhan Maradona ke gawang Peter Shilton kita melihat kecurangan disana sebagaimana kita juga melihat loyalitas bahkan mungkin nasionalisme, kecerdikan dan kelicikan. Maradona menang vs Shilton meski dengan postur tubuh yang lebih pendek. Shilton menang vs Maradona karena tak berlaku curang dalam duel dengan Maradona. Argentina menang vs Inggris berkat gol Maradona. Demikian pula Inggris menang vs Argentina untuk kecaman terhadap kemenangan yang curang.
Ah tulisan ini tak selayaknya diposting. Tak ada pembelajaran yang cukup gizi buat kawan-kawan. Tapi tak apalah, mungkin ini sekedar lemparan kedalam yang saya tujukan ke arah lawan, karena sebelumnya ia membuang bola akibat rekan satu tim saya cedera, dan ada etika fair play yang memagari. Atau cuma sekedar salah passing... Hmmm setidaknya saya masih bermain bola, sebagaimana saya masih bernafas dan hidup...
foto diambil dari sini
Layaknya permainan sepak bola, kehidupan kita telah dibatas dalam durasi yang pasti. Saya sadar betul hal itu. Dalam 2 x 45 menit tambah injury time, plus extra time dan sesekali adu penalti, harga manusia ditentukan, demikian juga nilai tukar rupiah, tingkat konsumsi kopi dan rokok juga kekerasan dalam rumah tangga. Ah terlalu mengada-ada. Ya terlalu mengada-ada. Tapi tidak juga, saya tidak berusaha mengada-ada. Kalo anda rajin nonton pertandingan sepak bola, mungkin terekam dalam ingatan anda betapa seorang Escobar (nama depannya saya lupa, yang jelas dia pemain Columbia yang melakukan gol bunuh diri di Piala dunia) mati beberapa jam setelah dalam 2 x 45 menit keberuntungan sedang tidak bersahabat dengannya.
Anda kenal Boaz Solossa??? Gara-gara dalam 2 x 45 menitnya ia memerankan peran sebagai petinju alih-alih pemain bola, mutiara hitam muda ini mesti urung membela merah putih di Sea Games tahun ini.
Dalam hidup ini, setidaknya hidup saya. Momen-momen 2 x 45 menit tambah injury time, plus extra time dan sesekali adu penalti ini kerap terjadi. Baik di lapangan sepak bola yang sebenarnya (saya rutin main bola di Lebak bulus tiap Jumat malam) maupun dalam rutinitas keseharian. Di Lebak Bulus saya selalu dihadapkan pada pilihan menggiring, passing, sundul, tembak bahkan takling dari belakang. Tak jauh beda, di kantor beberapa pekerjaan saya kerjaan sendiri, beberapa saya serahkan pada kawan, beberapa saya tunda, beberapa tak mau saya kerjakan. Ya, tak mau saya kerjakan, sebagaimana saya gak mau nyundul bola yang jaraknya 5 sentimeter dari tanah. Kenapa? Ya kalo saya kerjakan saya bisa cilaka, boro-boro cetak gol atau mengamankan gawang, yang ada pletak, gedebuk, bret.
Tak jarang saya tersentak menyadari betapa fragmen-fragmen hidup kita mampu dicerminkan oleh adegan-adegan di lapangan sepak bola. Dalam adegan gol tangan tuhan Maradona ke gawang Peter Shilton kita melihat kecurangan disana sebagaimana kita juga melihat loyalitas bahkan mungkin nasionalisme, kecerdikan dan kelicikan. Maradona menang vs Shilton meski dengan postur tubuh yang lebih pendek. Shilton menang vs Maradona karena tak berlaku curang dalam duel dengan Maradona. Argentina menang vs Inggris berkat gol Maradona. Demikian pula Inggris menang vs Argentina untuk kecaman terhadap kemenangan yang curang.
Ah tulisan ini tak selayaknya diposting. Tak ada pembelajaran yang cukup gizi buat kawan-kawan. Tapi tak apalah, mungkin ini sekedar lemparan kedalam yang saya tujukan ke arah lawan, karena sebelumnya ia membuang bola akibat rekan satu tim saya cedera, dan ada etika fair play yang memagari. Atau cuma sekedar salah passing... Hmmm setidaknya saya masih bermain bola, sebagaimana saya masih bernafas dan hidup...
foto diambil dari sini
Comments
piss bos ;)